Senin, 11 April 2016

BIOGRAFI IMAM ABU HANIFAH

Biografi Imam Abu Hanifah - Orang Pertama Peletak Dasar-dasar Fikih

Masjid Abu Hanifah, di Baghdad, Iraq
Masjid Abu Hanifah, di Baghdad, Iraq
Foto dari: Baghdad Arab Capital of Culture for 2013
Namanya adalah Nu’man bin Tsabit Al-Marzuban namun beliau dikenal dengan kun-yah (panggilan) Abu Hanifah, orang pertama yang meletakkan dasar-dasar fikih dan mengajarkan hikmah-hikmah yang baik. Beliau merupakan pendiri dari Madzhab Yurisprudensi(Fiqih) Islam Hanafi.

Imam Abu Hanifah dilahirkan di Kufah pada tahun 699 M. Ia adalah putra dari keluarga Persia (bukan orang Arab). Asalnya dari Kota Kabul (ibu kota Afganistan sekarang). Kakeknya, Marzuban, memeluk Islam di masa Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, lalu hijrah dan menetap di Kufah.

Ayahnya, Nu’man, adalah seorang pebisnis yang sukses di Kota Kufah, tidak heran kita mengenal Imam Abu Hanifah sebagai seorang pebisnis yang sukses pula mengikuti jejak sang ayah. Jadi, beliau tumbuh di dalam keluarga yang shaleh dan kaya. Di tengah tekanan peraturan yang represif yang diterapkan gubernur Irak Hajjaj bin Yusuf, Imam Abu Hanifah tetap menjalankan bisnisnya menjual sutra dan pakaian-pakaian lainnya sambil mempelajari ilmu agama.

Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), salat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi'i, Abu Dawud, Imam Bukhari.


Belajar Agama

Sejak kecil, Abu Hanifah telah mampu menghafal Alquran. Di masa remaja, Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit mulai menekuni belajar agama dari ulama-ulama terkemuka di Kota Kufah. Ia sempat berjumpa dengan sembilan atau sepuluh orang sahabat Nabi semisal Anas bin Malik, Sahl bin Sa’d, Jabir bin Abdullah, dan lain-lain.

Saat berusia 16 tahun, Abu Hanifah pergi dari Kufah menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke kota Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Madinah al-Munawwaroh. Dalam perjalanan ini, ia berguru kepada tokoh tabi’in, Atha bin Abi Rabah, yang merupakan ulama terbaik di kota Mekah.

Jumlah guru Imam Abu Hanifah adalah sebanyak 4000 orang guru. Di antaranya 7 orang dari sahabat Nabi, 93 orang dari kalangan tabi’in, dan sisanya dari kalangan tabi’ at-tabi’in. Jumlah guru yang demikian banyak tidaklah membuat kita heran karena beliau banyak menempuh perjalanan dan berkunjung ke berbagai kota demi memperoleh ilmu agama. Beliau menunaikan haji sebanyak 55 kali, pada musim haji para ulama berkumpul di Masjidil Haram menunaikan haji atau untuk berdakwah kepada kaum muslimin yang datang dari berbagai penjuru negeri.


Metode dalam berijtihad

Imam Abu Hanifah menciptakan suatu metode dalam berijtihad dengan cara melemparkan suatu permasalahan dalam suatu forum, kemudian ia mengungkapkan pendapatnya beserta argumentasinya. Imam Abu Hanifah akan membela pendapatnya di forum tersebut dengan menggunakan dalil dari Alquran dan sunnah ataupun dengan logikanya. Diskusi bisa berlangsung seharian dalam menuntaskan suatu permasalahan. Inilah metode Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan metode yang sangat mengoptimalkan logika.

Metode ini dianggap sangat efektif untuk mer4ngsang logika para murid Imam Abu Hanifah sehingga mereka terbiasa berijtihad. Para murid juga melihat begitu cerdasnya Imam Abu Hanifah dan keutamaan ilmu beliau. Dari majlis beliau lahirlah ulama-ulama besar semisal Abu Yusuf, Muhammad asy-Syaibani, az-Zuffar, dan lain-lain. dan majlis beliau menjadi sebuah metode dalam kerangka ilmu fikih yang dikenal dengan Madzhab Hanafi dan membuah sebuah kitab yang istimewa, al-Fiqh al-Akbar.

Imam Abu Hanifah pernah dipenjara oleh otoritas Umayyah dan Abbasiah akibat beberapa kali ditawari untuk memegang jabatan menjadi seorang hakim di Kufa, namun tawaran tersebut senantiasa beliau tolak.


Wafatnya Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah wafat di Kota Baghdad pada tahun 150 H/767 M. Imam Ibnu Katsir mengatakan, “6 kelompok besar Penduduk Baghdad menyolatkan jenazah beliau secara bergantian. Hal itu dikarenakan banyaknya orang yang hendak menyolatkan jenazah beliau.”

Di masa Turki Utsmani, sebuah masjid di Baghdad yang dirancang oleh Mimar Sinan didedikasikan untuk beliau. Masjid tersebut dinamai Masjid Imam Abu Hanifah.

Sepeninggal beliau, madzhab fikihnya tidak redup dan terus dipakai oleh umat Islam, bahkan menjadi madzhab resmi beberapa kerajaan Islam seperti Daulah Abbasiyah, Mughal, dan Turki Utsmani. Saat ini madzhab beliau banyak dipakai di daerah Turki, Suriah, Irak, Balkan, Mesir, dan India.

Sumber: http://kisahmuslim.com/biografi-imam-abu-hanifah/

Sabtu, 09 April 2016

Biografi Imam Sufyan Ats Tsausri



Masjid Raya Djenné di Djenné, Mali
Sufyan Ats-Tsauri tercatat sebagai salah seorang tokoh ulama di masanya, imam dalam bidang hadits juga bidang keilmuan lainnya, terkenal juga sebagai pribadi yang wara' atau sangat hati-hati, zuhud, ahli fikih dan dinilai setara dengan para imam fikih yang empat: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hambal.

"Sufyan Ats-Tsauri adalah pemimpin ulama-ulama Islam dan gurunya. Sufyan rahimahullah adalah seorang yang mempunyai kemuliaan, sehingga dia tidak butuh dengan pujian. Selain itu Ats-Tsauri juga seorang yang bisa dipercaya, mempunyai hafalan yang kuat, berilmu luas, wara’ dan zuhud" (Al-Hafidz Abu Bakar Al-Khatib rahimahullah)

Sufyan bin Said bin Masruq bin Rafi’ bin Abdillah, atau biasa dengan panggilan akrab beliau Sufyan Ats-Tsauri lahir pada tahun 77 H di Kufah pada masa khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. ayahnya adalah seorang ahli hadits ternama, yaitu Said bin Masruq Ats-Tsauri. Ayahnya adalah teman Asy-Sya’bi dan Khaitsamah bin Abdirrahman. Keduanya termasuk para perawi Kufah yang dapat dipercaya. Mereka adalah termasuk generasi Tabi’in.


Guru-Guru Sufyan Ats-Tsauri

Al-Hafidz berkata, “Sufyan meriwayatkan dari ayahnya, Abu Ishaq Asy-Syaibani, Abdul Malik bin Umair, Abdurrahman bin ‘Abis bin Rabi’ah, Ismail bin Abu Khalid, Salamah bin Kuhail, Tharik bin Abdirrahman, Al-Aswad bin Qais, Bayan bin Bisyr, Jami’ bin Abi Rasyid, Habib bin Abi Tsabit, Husain bin Abdirrahman, Al-A’masy, Manshur, Mughirah, Hammad bin Abi Sulaiman, Zubaid Al-Yami, Shaleh bin Shaleh bin Haiyu, Abu Hushain, Amr bin Murrah, ‘Aun bin Abi Jahifah, Furas bin Yahya, Fathr bin Khalifah, Maharib bin Datsar dan Abu Malik Al-Asyja’i.”

Beliau juga meriwayatkan dari guru-guru yang berasal dari Kufah, yang diantaranya adalah: Ziyad bin Alaqah, ‘Ashim Al-Ahwal, Sulaiman At-Tamimi, Hamaid Ath-Thawil, Ayyub, Yunus bin Ubaid, Abdul Aziz bin Rafi’, Al-Mukhtar bin Fulful, Israil bin Abi Musa, Ibrahim bin Maisarah, Habib bin Asy-Syahid, Khalid Al-Hadza’, Dawud bin Abi Hind dan Ibnu ‘Aun.

Disamping itu, beliau juga meriwayatkan dari sekelompok orang dari Bashrah, yaitu Zaid bin Aslam, Abdullah bin Dinar, Amr bin Dinar, Ismail bin Umayyah, Ayyub bin Musa, Jabalah bin Sakhim, Rabi’ah, Saad bin Ibrahim, Sima budak Abu bakar, Suhail bin Abi Shaleh, Abu Az-Zubair, Muhammad, Musa bin Uqbah, Hisyan bin Urwah, Yahya bin Said Al-Anshari, dan sekelompok orang dari Hijaz dan yang lain.


Murid-Murid Sufyan Ats-Tsauri

Al-Hafidz berkata, “Orang-orang yang meriwayatkan darinya tidak terhitung jumlahnya, diantaranya adalah: Ja’far bin Burqan, Khusaif bin Abdurrahman, Ibnu Ishaq dan yang lain, mereka ini adalah tergolong guru-guru Sufyan Ats-Tsauri yang meriwayatkan darinya.

Sedangkan murid-murid Ats-Tsauri yang meriwayatkan darinya adalah: Aban bin Taghlab, Syu’bah, Zaidah, Al-Auza’I, Malik, Zuhair bin Muawiyah, Mus’ar dan yang lain, mereka ini adalah orang-orang yang hidup sezaman dengannya.

Diantara murid-muridnya lagi adalah Abdurrahman bin Mahdi, Yahya bin Said, Ibnu Al-Mubarak, Jarir, Hafsh bin Ghayyats, Abu Usamah, Ishaq Al-Azraq, Ruh bin Ubadah, Zaidah bin Al-Habbab, Abu Zubaidah Atsir bin Al-Qasim, Abdullah bin Wahab, Abdurrazzaq, Ubaidillah Al-Asyja’I, Isa bin Yunus, Al-Fadhl bin Musa As-Sainani, Abdullah bin Namir, Abdullah bin Dawud Al-Khuraibi, Fudhail bin Iyadh, dan Abu Ishaq Al-fazari.

Selain yang disebutkan diatas murid-muridnya yang lain adalah Makhlad bin Yazid, Mush’ab bin Al-Muqaddam, Al-Walid bin Muslim, Mu’adz bin Mu’adz, Yahya bin adam, Yahya bin Yaman, Waki’, Yazid bin Nu’aim, Ubaidillah bin Musa, Abu Hudzaifah An-Nahdi, Abu ‘Ashim, Khalad bin Yahya, Qabishah, Al-faryabi, Ahmad bin Abdillah bin Yunus, Ali bin Al-Ju’di, dan dia adalah perawi tsiqat (terpercaya) paling akhir yang meriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsauri.


Pelarian yang melelahkan

Ketegasan Sufyan Ats-Tsauri terhadap kezhaliman penguasa, membawanya kepada sebuah pelarian yang melelahkan. Walaupun, hal itu tidak membuatnya lalai untuk mencari hadits dan mengajarkannya kepada murid-murid yang ia bina.

Hal yang membuatnya dikejar-kejar penguasa yang saat itu dijabat Al-Mahdi bermula ketika sang raja mendatangi rumah Sufyan Ats-Tsauri. Al-Mahdi memberikan Ats-Tsauri sebuah cincin yang baru saja ia lepas dari jarinya. Dan tentu, cincin itu sangat bernilai untuk orang kebanyakan, termasuk Sufyan Ats-Tsauri.

“Wahai Abu Abdillah,” ucap sang raja kepada Ats-Tsauri. “Ini adalah cincin kepunyaanku. Ambillah! Aku ingin engkau berkata kepada umat sesuai Quran dan Sunnah,” seraya sang raja melemparkan cincin itu kepada Ats-Tsauri.

Cincin itu pun dipegang Ats-Tsauri. “Izinkan aku berbicara, wahai amirul mukminin,” ucap ulama yang hadits periwayatannya selalu bernilai shahih. “Ada apa?” ucap Al-Mahdi. “Apa aku akan aman jika berbicara?” tanya Ats-Tsauri lagi. “Ya, kamu akan aman!” jawab sang raja.

“Wahai Amirul Mukminin, janganlah engkau datang kepadaku, sehingga aku sendiri yang datang kepadamu. Dan janganlah kamu memberikan sesuatu kepadaku, sehingga aku yang meminta kepadamu!” ucap Ats-Tsauri tanpa sedikit pun menampakkan rasa sungkan.

Betapa marahnya sang raja Al-Mahdi dengan ucapan yang menghinakan seperti itu. Hampir saja, ia memukul Ats-Tsauri kalau saja tidak diingatkan seseorang dengan ucapan jaminan aman sebelum Ats-Tsauri mengungkapkan ketegasannya kepada sang raja.

Orang-orang sudah berkumpul di sekitar rumah Sufyan Ats-Tsauri untuk melihat keadaan sang ulama. Mereka khawatir terjadi sesuatu. Dan betapa gembiranya mereka ketika Ats-Tsauri keluar dari rumah dengan selamat. “Apakah Al-Mahdi mengatakan agar berbicara sesuai Quran dan Sunnah?” tanya mereka kepada Ats-Tsauri.

Dengan ringan, Sufyan Ats-Tsauri menjawab, “Jangan anggap serius ucapannya.” Saat itulah, Sufyan Ats-Tsauri menjadi pelarian. Ia melarikan diri ke Bashrah.

Sebelum ke Bashrah, Ats-Tsauri pergi menuju Mekah. Al-Mahdi mengetahui keberadaan Ats-Tsauri, dan langsung mengutus seseorang untuk memerintah penguasa Mekkah, Muhammad bin Ibrahim untuk menangkap Ats-Tsauri.

Tapi, penguasa Mekkah paham betul kalau Ats-Tsauri seorang ulama besar yang tidak mungkin berbuat salah hingga menjadi buronan. Ia mengutus seseorang untuk memberikan pesan khusus kepada Ats-Tsauri. Isinya, “Jika kamu ada kepentingan untuk menemui beberapa orang di Mekkah, hubungilah aku untuk memberikan perlindungan. Dan jika tidak, sebaiknya sembunyi saja!”

Tetap saja, Ats-Tsauri menemui beberapa ulama Mekkah untuk berdiskusi tentang hadits. Hingga keberadaannya di Mekkah dirasa sudah tidak aman lagi, Ats-Tsauri pun berangkat menuju Bashrah.

Setibanya di Bashrah, beberapa ulama langsung menemuinya. Mereka mengkaji beberapa hadits dari Ats-Tsauri dan berdiskusi dengannya. Dan ketika keberadaannya di Bashrah juga dirasa sudah tidak aman, Ats-Tsauri pun pergi lagi menuju Baghdad.

Begitu seterusnya, hingga beliau akhirnya meninggal dunia di Bashrah, masih dalam suasana persembunyian. Ketika meninggal dunia, seorang ulama, Hammad bin Zaid, berkata, “Wahai Sufyan, aku tidak merasa iri dengan begitu banyaknya hadits yang kamu hafal. Tapi aku iri dengan amal shaleh yang telah kamu perbuat.”

Beberapa nasihat Sufyan Ats-Tsauri yang masih dikenang oleh murid-muridnya. Antara lain, “Melihat wajah orang zhalim merupakan sebuah kesalahan. Siapa yang mendoakan kebaikan kepada orang zhalim, maka dia berarti senang berbuat durhaka kepada Allah.”

Seorang murid Sufyan pun berkata, “Lalu, kepada siapa kami harus bergaul, wahai Syaikh?” Sufyan mengatakan, “Dengan orang-orang yang senantiasa mengingatkanmu untuk berdzikir kepada Allah, dengan orang-orang yang membuatmu gemar beramal untuk akhirat. Dan, dengan orang-orang yang akan menambah ilmumu ketika kamu berbicara kepadanya.”

Surat yang disampaikan ulama yang selalu mengisi waktu antara Maghrib dan Isya atau Zhuhur dan Ashar dengan shalat sunnah ini pun mempunyai sambungannya. “Menurutku, sebaiknya kamu jangan mengundang para penguasa dan bergaul dengan mereka dalam suatu masalah. Takutlah dengan fitnah dari orang yang taat beribadah tapi seorang yang bodoh, dan fitnah orang yang mempunyai banyak ilmu tapi tidak mempunyai akhlak terpuji.”

Sufyan Ats-Tsauri meninggal dunia di usia 84 tahun dan masih dalam suasana persembunyian. Ulama yang begitu wara’ ini pun meninggal dunia dengan masih mengenakan sebuah pakaian yang banyak coretan peta.


Wafatnya Sufyan Ats-Tsauri

Adz-Dzahabi berkata, “Menurut pendapat yang benar, Sufyan meninggal pada bulan Sya’ban tahun161 H, Al-Waqidi juga mengatakan demikian, sedangkan Khalifah meragukannya dan dia berkata bahwa meninggalnya Sufyan adalah pada tahun 162 H.

Sufyan rahimahullah memberikan wasiat kepada Abdurrahman bin Abdul Malik, agar menyalatinya. Dan ketika beliau meninggal Abdurrahman pun memenuhi wasiatnya tersebut dengan menyalatinya bersama penduduk Bashrah. Mereka telah menjadi saksi meninggalnya Sufyan.

Abdurrahman bin Abdul Malik bersama Khalid bin Al-Haritsah dan dibantu penduduk Bashrah menguburkan Sufyan. Setelah acara pemakaman selesai, dia bergegas ke Kufah dan memberitahu keluarga Sufyan perihal meninggalnya Sufyan.

أهـــــــلاوســــهلا بقــدومكم فى هذاالمعهدتربيةالإسلاميةالمخــــتر فرانتي أسمباڮوس ستوبوندوجاوي المشرق إندونسيا